abqory-sharia-group
Home

PERJANJIAN DAN JANJI: PERSPEKTIF SYARIAH DAN HUKUM POSITIF

September, 16 2023 by Abqory Media
img-post

“Mirip bukan berarti sama”, Ya itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan hakikat “janji” dan “perjanjian”. Perbedaan kata per ternyata melahirkan konsekuensi yang berbeda. Berikut kami sajikan penjelasannya. Yuk disimak!

Janji (Wa'd)

Kata janji dalam ilmu hukum Islam dikenal dengan term “al-wa’d” yang secara bahasa berarti hadda (ancaman) dan takhawwafa (menakut-nakuti). Secara terminologi menurut para ulama al-wa’d didefinisikan sebagai sebuah pernyataan kehendak dari pihak/seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang baik, pada masa yang akan datang. Defini yang senada terkandung dalam Fatwa DSN-MUI No. 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah. Sedangkan dalam hukum positif janji tidak dikategorikan sebagai istilah tersendiri. Berikut pandangan para ulama tentang mengikat atau tidaknya sebuah janji (wa’d):

  • Mayoritas para ahli fikih dari kalangan hanafiyah, syafi’iyah, dan hanabilah dan sebagian kecil dari malikiyyah menyatakan bahwa wa’d mengikat sebagai sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh agama tetapi tidak dalam hukum formal, sehingga tidak mengikat secara hukum; 
  • Ibn Syubrumah, Ishaq bin Rahawiyah, Hasan Basri, dan sebagian Malikiyah menyatkan bahwa wa’d wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum. Sedangkan sebagian malikiyah lainnya berpendapat bahwa wa’d mengikat secara hukum apabila berkaitan dengan suatu sebab meskipun sebab tersebut tidak menjadi bagian/disebutkan dari mau’ud (pernyataan janji);
  • Ibn Qasim berpendapat wa’d mengikat untuk dipenuhi apabila berkaitan dengan sebab yang dinyatakan secara tegas dalam mau’ud;
  • DSN-MUI menyatakan wa’d dalarn transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa'id apabila wa’d dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau'ud (wa'd bersyarat).

Dengan demikian maka dapat simpulkan wa’d tidak mengikat secara hukum apabila tidak jika tidak dikaitkan dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam pernyataan janji, sebagai contoh:

Ahmad berjanji kepada Andi untuk membeli sebuah handphone Iphone 15 Pro Max pada tanggal 25 September 2023, dengan syarat Andi menyediakan Iphone 15 Pro Max berwarna abu-abu dengan storage 512 GB. Dalam hal Andi sudah melaksanakan sebagaimana yang disyaratkan, maka janji Ahmad menjadi mengikat dan wajib dilaksanakan. Ketika Ahmad melanggar janjinya maka Andi dapat meminta ganti rugi yang timbul akibat adanya pengadaan barang dimaksud.

Perjanjian (Akad)

Perjanjian sama dengan akad. Akad berasal dari kata bahasa arab yaitu al-aqd yang secara etimologis berarti al-rabth (ikatan), al-tahkkum (mengokohkan), dan al-ittifaq (persetujuan dan ksepakatan). Sedangakan menurut istilah akad adalah pertalian antara penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul) sesuai dengan ketentuan syariah yang berakibat pada status hukum objek akad. 

Dalam terminologi ilmu Hukum kata perjanjian dikenal dengan term verbintenis dan overeenkomst. verbintenis dapat dimaknai sebagai perikatan, perjanjian, dan perutangan. Sedangkan overeenkomst berarti perjanjian dan persetujuan. Yahya Harahap dalam bukunya Segi-segi Hukum Perjanjian mendefinisikan perjanjian sebagai sebuah hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua pihak atau lebih, yang memberi kekuatan hak bagi satu pihak untuk memperoleh prestasi dan mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Adapun penjelasan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut:

KUH Perdata Pasal 1313:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”.

KUH Perdata Pasal 1314: 

“Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu”.

Berbeda dengan janji, perjanjian bersifat mengikat selama perjanjian yang dilakukan oleh para pihak bukanlah perjanjian yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Untuk perjanjian syariah, selain tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum yang berlaku, perjanjian tersebut wajib menaati ketentuan syariah. 

Berkenaan seputar perjanjian, baik hukum positif maupun syariah setidaknya melingkupi tiga jenis teori antara lain 1) Teori Kehendak, yang menjelaskan bahwa sebuah kesepakatan dapat terjadi apabila adanya kehendak dari para pihak, 2) Teori Pernyataan, yang menjelaskan bahwa sebuah kesepakatan dapat terjadi apabila adanya pernyataan dari para pihak, 3) Teori Kepercayaan, yang menjelaskan bahwa sebuah kesepakatan dapat terjadi apabila adanya kepercaya dari para pihak.

Setelah menelisik penjelasan sebagaimana tersebut di atas berikut beberapa catatan pentingnya:

Akad

Wa’d

Perjanjian mengikat para pihak.

Janji mengikat pihak yang memberikan janji.

Berpengaruh terhadap pemindahan kepemilikan.

Belum mempengaruhi pemindahan kepemilian, karena hanya berupa janji.

Jika tidak dipenuhi, maka termasuk wanprestasi.

Jika janji diikatkan dengan syarat tertentu yang dinyatakan dalam pernyataan janji, dan syarat tersebut telah dipenuhi maka pihak yang berjanji dapat dikenakan ganti rugi apabila tidak menunaikan janjinya.

Dowload Artikel: KLIK

  
 


 

Penulis:

Rifqi Abqory Najih, SH., MH.

Founder Abqory Sharia Group, Legal Consultant & Trainer

Bagikan:

Artikel Terkait