Summary:
- PayLater bisa dibilang sebagai produk pembiayaan yang memungkinkan suatu pembeli untuk membeli barang dengan mengangsurnya di waktu yang akan datang dengan masa yang sudah ditentukan. Seperti produk keuangan lainnya, PayLater juga punya keunggulan dan kerugian untuk konsumennya.
- Pada paylater terdapat beberapa pendapat dalam transaksi paylater dan saat ini masih belum ada Fatwa DSN MUI spesifik mengenai paylater sehingga hukumnya haram.
Halo, Sobat Abqory. Kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan belanja online, ‘kan? Begitu juga dengan sistem PayLater yang diterapkan beberapa platform marketplace di Indonesia. Tapi kalian tahu nggak, PayLater itu sebenarnya apa?
PayLater bisa dibilang sebagai produk pembiayaan yang memungkinkan suatu pembeli untuk membeli barang dengan mengangsurnya di waktu yang akan datang dengan masa yang sudah ditentukan. Cara kerja PayLater sendiri bisa dibilang mirip dengan kartu kredit karena dalam bertransaksi, pembeli diberi batasan atau limit yang bisa dibelanjakannya. Perbedaan keduanya adalah bahwa PayLater biasanya memberi jaminan pembayaran yang lebih rendah daripada kartu kredit.
Terus untung dan ruginya pakai PayLater apa?
Seperti produk keuangan lainnya, PayLater juga punya keunggulan dan kerugian untuk konsumennya. Keuntungannya sendiri pendaftaran mudah, banyak promo, tenor lebih fleksibel. Di sisi lain, PayLater juga mendorong masyarakat untuk lebih boros, terkesan membudayakan utang, dan tagihan mendadak, serta keamanan data pribadi yang harus ditinjau, karena dalam proses pendaftarannya, orang-orang perlu memasukkan data-data berharga, seperti NIK, alamat, dan sebagainya, termasuk foto KTP.
Ada beberapa pendapat yang memungkinkan untuk kita ambil dalam transaksi ini.
Pertama, utang yang diberikan oleh perusahaan lewat produk paylater adalah termasuk kategori riba qardli (riba utang) yang diharamkan sebab adanya unsur ziyadah (tambahan) yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumennya.
Hal itu tercermin dari konsumen yang mengakses situs pesan barang atau jasa terlebih dulu, dan selanjutnya untuk pembayarannya ditanggung dulu oleh penerbit paylater. Dengan demikian, pihak konsumen memiliki utang terhadap perusahaan tersebut. Sampai di sini maka bila pihak perusahaan menetapkan syarat berupa tambahan harta/manfaat dari jasa utang yang diberikannya kepada konsumen, maka di satu sisi ia masuk kategori riba qardli. Sebab, hukum asal dari utang adalah kembalinya harta sejumlah harta pokok (ra’su al-mal) yang diutang, tanpa tambahan. Jika ada syarat tambahan oleh pemberi utang, maka tidak diragukan lagi bahwa tambahan tersebut merupakan riba.
Kedua, utang yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan melalui aplikasi Paylater tersebut bukan termasuk riba yang diharamkan sebab tambahan tersebut hanya bisa diperoleh lewat penggunaan aplikasi. Karena harus memakai aplikasi, maka tambahan itu termasuk bagian dari akad ijarah (sewa jasa aplikasi).
Ketiga, transaksi paylater bisa dianggap sebai bai’ tawarruq yakni menjual suatu barang secara kredit (muajjalan) dengan harga tertentu, kemudian membelinya kembali secara kontan (hâlan) dengan harga yang tentunya lebih murah dari harga kredit, yang mana waktu antara menjual dan membeli tadi dilakukan bersamaan.
Kemudian selisih yang belum terbayarkan dapat dicicil tanpa adanya unsur bunga. Namun, yang sulit diterima pada paylater adalah memberlakukan bunga itu dengan nilai persentase dalam rentang tertentu tiap bulan. Jika sudah ada unsur bunga di dalamnya, maka akan dikategorikan riba.
Maka dapat disimpulkan pada sistem paylater tersebut terdapat akad jual beli langsung kepada penyedia paylater yang dibayarkan secara kredit hukumnya juga diperbolehkan. Akan tetapi, terdapat perbedaan berlainan ketika sistem paylater dengan menggunakan akad qardh atau utang piutang yang di dalamnya ada ketentuan bunga. Sebab, ketentuan bunga ini membuat suatu transaksi paylater menjadi haram dan tidak sah. Langsung ke Hingga saat ini belum ada Fatwa Khusus terkait paylater, namun bisa kita lihat ketentuan dari Fatwa 116 terkait Uang Elektronik sebagai berikut:
Ketentuan Umum Butir 17 berbunyi “biaya layanan fasilitas uang elektronik adalah
biaya yang dikenakan penerbit kepada pemegang berupa:
(a) Biaya penggantian media uang elektronik untuk pengguna pertama kali atau penggantian media uang elektronik yang rusak atau hilang;
(b) Biaya pengisian ulang (top up) melalui pihak lain yang bekerjasama dengan penerbit atau menggunakan delivery channel pihak lain;
(c) Biaya tarik tunai melalui pihak lain yang bekerjasama dengan penerbit atau menggunakan delivery channel pihak lain, dan/atau;
(d) Biaya administrasi untuk uang elektronik yang tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu.
Okay Sobat Abqory Media, sekian terima kasih dan nantikan artikel selanjutnya ya!