abqory-sharia-group
Home

Gadai Syariah: Antara Ijarah atau Mu’nah

April, 06 2023 by Abqory Media
img-post

Halo Sobat Abqory Media

Apa kabar? 

Sudah siap dengan artikel selanjutnya belum? Setelah pembahasan artikel yang lalu, selanjutnya Abqory Media akan mengajak kamu mencari tahu gadai syariah dan unsur-unsurnya lohhh. Simak penjelasan di bawah ini ya!

Summary:

Dalam fiqh muamalah pinjaman disebut Ar-rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang sebagai jaminan. Terdapat unsur-unsur gadai pada Fatwa DSN-MUI dan diatur juga pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Penerapan Ijarah dalam pemeliharaan marhun secara prinsip tidak sesuai dengan fatwa rahn dan kaidah dasar, di mana setiap utang-piutang yang memiliki manfaat adalah riba. Sehingga dalam praktiknya, seharusnya yang dipakai adalah skema mu’nah bukan ijarah.

 

Dalam fiqh muamalah dikenal dengan kata pinjaman dengan jaminan yang disebut Ar-rahn, yaitu menyimpan suatu barang sebagai tanggungan utang. Ar-rahn menurut bahasa berarti Al-tsubut dan Al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Dan ada pula yang menjelaskan bahwa Rahn Adalah terkurung atau terjerat, di samping itu juga Rahn diartikan pula secara bahasa dengan tetap, kekal, dan jaminan.

          

Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih (pinjaman), sehingga rahin (orang  memberikan gadai) boleh mengambil marhun bih. Pinjaman dengan menggadaikan marhun (barang) sebagai jaminan marhun bih dalam hal ini gadai syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin (orang yang menerima gadai), kecuali dengan seizin rahin tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

 

Rahn dibagi menjadi dua berdasarkan sifat marhun yang dijaminkan, sepeti rahn tasjily atas marhun yang tidak bergerak atau susah berpindah, seperti pada jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotik. Kemudian ada juga rahn yang marhun-nya mudah berpindah-pindah, seperti emas elektronik. Rahn tasjily dalam praktiknya berlandas pada fatwa 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.

 

Sobat, Abqory Media pada gadai ini terdapat unsur-unsur yang bisa kalian pahami lohhh…

 

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang rahn sebagaimana tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN- MUI/III/2002, tertanggal 26 Juni 2002 (Himpunan Fatwa, Edisi kedua, hal (158-159) sebagai berikut:

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam

bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban

rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin

d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman (marhun bih).

e. Penjualan Marhun

1. Apabila telah jatuh tempo pembayaran, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

2. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangya, maka marhun dijual/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

3. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

 

Menurut ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, unsur-unsur yang terdapat dalam gadai sebagai berikut:

Hak yang diperoleh kreditur atas benda bergerak;

Benda bergerak itu diserahkan oleh debitur kepada kreditur;

Penyerahan benda tersebut untuk jaminan hutang;

Hak kreditur adalah pelunasan piutangnya dengan kekuasaan;

melelang benda jaminan apabila debitur tidak membayar;

Pelunasan tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lain;

Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan benda jaminan dilunasi lebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang.

 

Dalam teorinya, ketika melakukan akad rahn dalam lingkup pegadaian syariah, murtahin (penerima barang jaminan gadai) memiliki hak untuk menahan marhun (barang jaminan gadai) sampai rahin (pemilik barang) melunasi utangnya. Selama itu juga, tanggung jawab dalam pemeliharaan barang (mu’nah: jasa pemeliharaan barang) menjadi tanggung jawab murtahin, tapi besar biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh rahin.

 

Namun dalam praktinya, beberapa pegadaian dalam hal pemeliharaan marhun, murtahin tidaklah memungut fee dari mu’nah, melainkan melaksanakan kontrak baru, baik di bidang pemeliharaan ataupun tempat berdiamnya barang, dengan menggunakan akad ijarah, sehingga yang dibayar oleh rahin nanti bukanlah biaya mu’nah melainkan ujrah (fee) atas pemeliharaan marhun.

 

Mungkin pertanyaan yang ada di benak Sobat Abqory sekarang, yah, bagaimana perspektif Hukum Islam dalam penerapan ijarah dalam hal pemeliharaan marhun? 

 

Penerapan penarikan fee atas biaya pemeliharaan marhun lebih tepat menggunakan skema mu’nah, bukan ijarah. Karena adanya suatu kaidah fikih:

 

كل قرض جر نفعا فهو ربا

 

Artinya: Setiap piutang yang mendatangkan manfaat adalah riba. Dan karena akad rahn ini adalah akad yang bersifat accesoir pada akad utang-piutang, maka penerapan ijarah terhadap perolehan fee pemeliharaan marhun tidaklah tepat.

 

Lagi pula, alasan diadakannya mu’nah adalah sebagai solusi atas problem dari mana pegadaian syariah mendapat fee bilamana dalam peminjaman tidak boleh ada unsur bunga. Jadi tentunya ijarah di sini tidak lagi diperlukan.


Baik, Sobat Abqory, bagaimana hasil pembahasan soal tinjauan antara ijarah dan mu’nah dalam pemeliharaan marhun? Sudah pahamkah kalian? Sangat Menarik bukan pembahasannya? Kalau masih mau tahu lebih banyak soal penerapan kesyariahan dalam sistem ekonomi syariah kita, tunggu artikel selanjutnya, ya! Sampai Jumpa!

Bagikan:

Artikel Terkait